Sejarah PGRI

Sejarah berdirinya organisasi PGRI

Politik penghematan anggaran yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda di awal 1930-an membuat rakyat semakin sengsara. Di antara kebijakan pemerintah Hindia Belanda adalah pemangkasan anggaran pendidikan. Kebijakan itu pun memantik kemarahan para guru. Kebijakan itu pun ditentang, terlebih berdampak pada guru-guru bantu. Dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Jawa Tengah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menuliskan akibat kebijakan itu, pada 1931, banyak guru bantu yang menjadi korban pemecatan.

Volksoonderwijzersbond atau Persatuan Guru Hindia Belanda (PGBH), organisasi yang telah ada sejak 1912 terdiri dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah dan pemilik sekolah melakukan aksi protes terhadap kebijakan itu. Protes atas pengusutan anggaran pendidikan oleh PGBH, juga didukung sejumlah organisasi lainnya yang bergerak dalam pendidikan seperti Budi Utomo. PGBH pun terus berjuang sambil menyempurnakan organisasinya.

Para guru menuntut persamaan hak dan posisi dengan pihak Belanda. Seiring berjalannya waktu, perjuangan para guru pun semakin berkobar dengan diiringi kesadaran mencapai kemerdekaan. “Perjuangan guru tidak lagi perjuangan perbaikan nasib, tidak lagi perjuangan kesamaan hak dan posisi dengan Belanda, tetapi telah memuncak menjadi perjuangan nasional dengan teriak merdeka,” tulis Musriadi dalam Profesi Kependidikan secara teoritis dan aplikatif.

4 Alasan Belanda Gencar Membuka Sekolah di Indonesia Awal Abad ke-20

Akhirnya pada 1932 PGBH berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI). Organisasi ini merupakan kumpulan dari beberapa organisasi profesi guru, di antaranya Persatuan Guru Bantu (PGB), Persatuan Guru Ambachtshool (PGAS), Volksnoderwijzers Bond (VOB), Oud Kweek Scholieren Bond (PNS), Hogere Kweek Schoileren Bond (HKSB), Persatuan School Opziener (PSO) dan Perserikatan Normal School (PNS).

Dalam Ensiklopedi Umum yang diterbitkan Kanisius menuliskan kala itu jumlah anggota seluruhnya mencapai 15 ribu orang. Yang terbesar yakni VOB atau Perserikatan Guru Desa dengan 103 cabang dan 9 ribu anggota. Sedang pada kongres 1934 jumlah anggtoa PGI mencapai 20 ribu anggota. Namun di tahun itu, PGB keluar dari PGI karena dinilai kurang tegas dan giat dalam memperjuangkan nasib guru bantu.

R. A. A. Wiranatakoesoema V (Dalem Haji, masa jabatan 1912-1931 dan 1935-1945) sebagai wakil Volksraad di Congres van Prijaji-Bond (Kongres Perhimpunan Priyayi) di Surakarta tahun 1929

Perubahan nama dari PGBH menjadi PGI pun membuat Belanda terkejut sekaligus semakin khawatir. Sebab pemakaian kata Indonesia menjadi cermin munculnya semangat kebangsaan, menentang pemerintah Hindia Belanda, dan menginginkan kemerdekaan. Kebijakan penghematan pemerintah Hindia Belada terus menjadi pembahasan dan penentangan keras PGI dari tahun ke tahun. Terbukti, penentangan para guru terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah Hindia Belanda semakin sering terjadi. Salah satunya PGI menentang usaha pemerintah Belanda yang akan memindahkan urusan pengajaran dari pusat ke daerah daerah. Usaha ini dianggap sebagai kemunduran dalam pendidikan mengingat kurangnya keuangan daerah. Karena itu para guru menentang penyerahan urusan pengajaran kepada pemerintah daerah sebelum ada perbaikan perhubungan keuangan daerah.

Pendidikan Era Kolonial

Sementara pada saat Jepang menduduki Indonsia, PGI tak bisa melakukan aktivitasnya karena Jepang menutup sekolah-sekolah yang ada. Namun setelah beku selama pendudukan jepang organisasi itu muncul kembali dengan semangat baru. Terlebih setelah proklamasi Kemerdekaan, para guru bergerak cepat untuk menyelenggarakan kongres guru. Kongres itu dilakukan di Solo pada 24-25 November 1945. Melalui kongres itu segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama dan suku dihapuskan. Di kongres inilah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan.

Potret Guru di Jaman Penjajahan Jepang

Dengan semangat pekik “merdeka” yang bertalu-talu, di tengah bau mesiu pemboman oleh tentara Inggris atas studio RRI Surakarta, mereka serentak bersatu untuk mengisi kemerdekaan dengan tiga tujuan:

  1. Mempertahankan dan menyempurnakan Republik Indonesia.
  2. Mempertinggi tingkat pendidikan dan pengajaran sesuai dengan dasar-dasar kerakyatan.
  3. Membela hak dan nasib buruh umumnya, guru pada khususnya.
Photo of Amin Singgih
Amin Singgih
Ketua PGRI hasil Kongres I

Sejak Kongres Guru Indonesia itu, semua guru Indonesia menyatakan dirinya bersatu di dalam wadah Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Jiwa pengabdian, tekad perjuangan, dan semangat persatuan dan kesatuan PGRI yang dimiliki secara historis terus dipupuk dalam mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam rona dan dinamika politik yang sangat dinamis, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) tetap setia dalam pengabdiannya sebagai organisasi perjuangan, organisasi profesi, dan organisasi ketenagakerjaan, yang bersifat unitaristik, dan independen. Untuk itulah, sebagai penghormatan  kepada guru, pemerintah Republik Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994, menetapkan hari lahir PGRI tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional dan diperingati setiap tahun.

PGRI pada Masa Perang Kemerdekaan (1945-1949)

PGRI adalah “Kedaulatan Rakyat”dengan tujuan seperti disebutkan terdahulu. Dilihat dari tujuannya, sangat jelas bahwa cita – cita PGRI sejalan dengan cita – cita bangsa Indonesia secara keseluruhan. Para guru diIndonesia menginginkan kebebasan dan kemerdekaan, memacu kecerdasan bangsa dan membela serta memperjangkan kesejahtraan anggotanya.

Bung Karno Mengajar

Agar perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah Bangsa Belanda lebih terorganisasi pemerintah pusat pada tanggal 5 Oktober 1945 TKR untuk melindungi keamanan Rakyat dari provokasi dan Agresi Belanda konferensinya tgl. 12 November 1945 Panglima Besarnya Kolonel Soedirman dengan Pangkat Jendral.

Kongres II PGRI di Surakarta 21-23 November 1946

Rh. Koesnan
Ketua PGRI hasil Kongres II

Melalui kongres ini PGRI mengajukan tuntutan kepada pemerintah:

  1. Sistem pendidikan selekasnya didasarkan pada kepentingan nasional.
  2. Gaji guru supaya tidak dihentikan.
  3. Diadakan undang-undang pokok pendidikan dan undang-undang pokok perburuhan.

Kongres III PGRI di Madiun 27-29 Februari 1948

Kongkres yang diadakan dalam keadaan darurat ini memutuskan bahwa untuk meningkatkan efektivitas organisasi, ditempuh jalan dengan memekarkan cabang-cabang yang tadinya keresidenan memiliki satu cabang menjadi cabang lebih kecil tetapi dengan jumlah sedikitnya 100 orang diharapkan yang lebih kecil itu dapat lebih aktif.

Cita-cita besar PGRI tercapai baik dibidang pendidikan maupun dibidang pemburuhan. Nama PGRI tidak asing lagi, termasuk diluar negeri. Dibuktikan adanya undangan dari NEA, juga undangan dari WCOTP untuk menghadiri kongkres II yang diadakan oada bulan Juli 1984 di London.

PGRI pada Masa Demokrasi Liberal (1950-1959)

Kongres IV PGRI di Yogyakarta 26-28 Februari 1950

Presiden RI memuji PGRI yang menurut pendapatnya tidakbisa lain dari pada pencerminan semangat juang para guru sebagai pendidik rakyat dan bangsa. Oleh karena itu, Presiden RI menganjurkan untuk mempertahankannama,bentuk,maksud,tujuan,dan cita – cita PGRI sesuai dengan kehendak dan tekad para pendirinya.

Kongres IV PGRI dihadiri beberapa utusan dari luar-luar “daerah Renville”, yaitu: Sukabumi, Cianjur, Tasikmalaya, bahkan dari Sumatra, yaitu: Sigli, Bukit tinggi, dan Lampung. Pengurus pusat SGI di Bandung datang pada kongkres IV di Yogyakarta untuk secara resmi menggabungkan diri kedalam PGRI dengan menyerahkan 38 cabang. Delegasi SGI terdiri atas, Jaman Soejanaprawira, Djoesar Kartasubrata, M.Husein, Wirasoepena, Omo Adimiharja, Sukarna Prawira, dan Anwar Sanusi. RIS diakui oleh Belanda pada tanggal 27 Desember 1949.

Kembalinya kongres IV PB PGRI berada di Jakarta segera berkantor diruangan SMA Negeri 1 Jakarta di Jln. Budi Utomo. Pada akhir February 1950 sebanyak 30 cabang SGI diseluruh Negara menyatakan memisahkan diri dari SGI kemudian masuk PGRI. Yaman Soejanaprawira (KPI Jawatan PP dan K), M.Husein dkk berjasa sekali. Pada tahun 1950 pemerintah RI mengeluarkan PP No. 16/1950, sangat menguntungkan para guru, namun pelaksanaan penyesuaian gaji ternyata disana-sini berjalan serat. Kegembiraan menyambut keluarnya PP 16/1950 segera berbalik menjadi kekesalan dan keresahan, terutama dikalangan guru di Jawa Barat. Guru-guru diJawa Barat mengancam untuk mengadakan pemogokan, menurut rencana dimulai pada 12 Juni 1950 pukul 10.00 pagi. Usaha ini berhasil, akhirnya disetujui pemerintah. Hal ini mengokohkan wibawa PGRI dibuktikan dengan lancarnya PP No. 32/1950 tentang penghargaan kepada pelajar pejuang.

Kongres V PGRI di Bandung 19-24 Desember 1950

Acara pun lebih bervariasi karena dalam kongres ini bicarakan suatu masalah yang prinsipil dan faundamental bagi kehidupan dan perkembangan PGRI selanhutnya, yaitu asas organisasi ini : apakah akan memilih sosialisme keadilan sosial atau pancasila akhirnya pancasila menjadi asas organisasi

Kongres V merupakan “Kongres Persatuan”. Kongres dihadiri oleh perwakilan luar negeri yang ada diJakarta. Rapat diadakan dipusat kebudayaan Jln. Naripan, kongres ini membicarakan suatu masalah yang prinsipil dan fundamental bagi kehidupan dan perkembangan PGRI yaitu asas organisasi akankah memilih sosialisme keadilan sosial ataukah pancasila. Akhirnya, pancasila diterima sebagai asas organisasi. Sejak kongres V mulai nyata daerah dibentuk beserta susunan pengurusnya konferda mulai dilaksanakan. Mulanya konferda dilaksanakan di Cirebon, Solo, Jember pada Maret 1951, selanjutnya konferda meluas ke pulau lainnya, tanggal 27 Februari 1952 di Makassar dan 20 maret 1952 di Banjarmasin. Hasil nyata dari konsolidasi ialah masuknya 47 cabang di Sulawesi dan Kalimantan kedalam barisan PGRI.

Kongres VI PGRI di Malang 24-30 November 1952

Kongres menyepakati beberapa keputusan panting. Dalam bidang organisasi, menetapakan asas PGRI ialah keadilan social dan dasarnya ialah demokrasi, PGRI tetap dalam GSBI. Dalam bidang pemburuhan memperjuangkan kendaraan bagi pemilik sekolah, intruktur penjas, dan pendidikan masyarakat. Dalam bidang pendidikan:

  1. System pengajaran diselaraskan dengan kebutuhan Negara pada masa pembangunan.
  2. KPKPKB dihapuskan pada akhir tahun pelajaran.
  3. KPKB ditiadakan diubah menjadi SR 6 th
  4. Kursus B-I/B-II untuk pengadaan guru SLTP dan SLTA diatur sebaik-baiknya.
  5. Diadakan Hari Pendidikan Nasional.

Kongres VII PGRI di Semarang 24 November s/d 1 Desember 1954

Kongres ini dihadiri 639 orang utusan. Pelaksanan rapat bertempat di aula SMA B Candi Semarang. Untuk pertama kalinya kongres PGRI dihadiri oleh tamu-tamu dari luar negeri Maria Marchant wakil FISE di Paris, Marcelino Bautista dari PPTA (Filipina) wakil WOTOP, Fan Ming, Chang Chao, dan Shen Pei Yung dari SBP RRC, dan Jung Singh dari organisasi guru Malaysia. Dibicarakan pula masalah pendidikan agama.

Hasil kongres ini antara lain:

Bidang Umum : Pernyataan mengenai Irian Barat, pernyataan mengenai korupsi, resolusi mengenai desentralisasi sekolah, resolusi mengenai pemakaian keuangan oleh kementrian PP dan K, dan resolusi mengenai penyempurnaan cara kerja kementrian PP dan K.

Bidang Pendidikan : Resolusi mengenai anggaran belanja PP dan K yang harus mencapai 25% dari seluruh anggaran belanja Negara, resolusi mengenai UU sekolah rakyat dan UU kewajiban belanja, resolusimengenai film, gambar, tektur, serta radio dan pembentukan dewan bahasa nasional.

Bidang Pemburuhan : UU pokok kepegawaian, peleksanan peraturan gaji, pegawai baru, tunjangan khusus bagi pegawai yang tugas di daerah yang tidak aman, ongkos perjalanan cuti besar, Guru SR dinyatakan sebagai pegawai negri tetap, dan penyelesaian kepegawaian.

Bidang Organisasi : Pernyataan PGRI untuk keluar dari GBSI dan menyatakan diri sebagai organisasi “Non-Vaksentral”.

Kongres VIII PGRI di Bandung 1956

Kongres dihadiri hampir seluruh cabang PGRI di Indonesia. Suasana kongres mulanya meriah,tetapi waktu diadakan pemilihan ketua umum keadaan menjadi tegang. Pihak Soebandri menambah kartu palsu. Sehingga pemilihan terpaksa dibatalkan. Otak pemalsuan Hermanu Adi seorang tokoh PKI Jatim, yang menjabat ketua II PGRI. Walaupun M.E Subiadinata dihalangi secara curang akhirnya ia terpilih menjadi ketua Umum mengantikan Sudjono. Ketua II PGRI digantikan M.Husein.

Jumlah anggota PGRI meningkat setelah diadakan konsolidasi dengan cara:

  1. Kunjungan kecabang-cabang
  2. Korespondensi PB PGRI dengan cabang lebih diintensifikasi
  3. Tindakan-tindakan disiplin dilakukan kepada cabang yang tidak disiplin diberikan peringatan seperlunya
  4. Dilakukan pembekuan terhadap pengurus cabang PGRI Palembang karena tindakan indisipliner terhadap komisariat daerah

Keterlibatan PGRI dalam symposium BMN Denpasar Bali (Juli 1957) mendapat penghargaan dan perhatian masyarakat.

Pokok-pokok bahasan:

  1. Pendidikan sebagai pewaris nilai budaya
  2. Perlu adanya Indonesianisasi
  3. Aspek kebudayaan agar dilegalisasikan dalam UUD

Masalah cukup serius mendapatkan perhatian diantaranya tentang:

  1. Dimasukannya pencak silat dalam pendidikan jasmani
  2. Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah dalam dunia pendidikan dan masyarakat
  3. Uang alat/perlengkapan sekolah dan pakaian belajar

PGRI pada Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965)

Pada kongres IX di Surabaya bulan oktober /November 1959, Soebandrio dkk.Melancarkan politik adudomba diantara para kongres, terutama pada waktu pemilihan Ketua Umum.Usaha tersebut tidak berhasil, ME.Sugiadinata terpilih lagi sebagai Ketua Umum BP PGRI.

Lahirnya PGRI Non-Yaksentral/PKI

Periode tahun 1962-1965 merupakan episode yang sangat pahit bagi PGRI. Dalam masa ini terjadi perpecahan dalam tubuh PGRI yang lebih hebat dibandingkan dengan pada periode sebelumnya. Penyebab perpecahan itu bukan demi kepentingan guruatau peropesi guru,melainkan karena ambisi politik dari luar dengan dalih”machsovorming en machsaanwending”(pembentukan kekuatan dan panggunaan kekuatan).

Ternyata goldfried termasuk salah seorang penandatanganan “surat selebaran fitnah”,sehingga timbul protes dari siding pleno, sehingga Goldfied akhirnya dikeluarkan dari panitia.

Pemecatan Massal Pejabat Departemen P&K (1964)

Pidato inangrasi Dr.Busono wiwoho pada rapat pertama Majelis Pendidikan Nasional (Mapenas)dalam kependudukannya sebagai salah seorang wakil ketua, menyarankan agar PancawarDhana diisi dengan moral “panca cinta”.sistem pendidikan pancawardhana dilandasi dengan prinsip-prinsip:

  1. Perkembangan cinta bangsa dan cinta tanah air,moral nasional / internasional/ke agamaan ,
  2. Perkembangan kecerdasan,
  3. Perkembangan emosional – artistrik atau rasa keharuan dan keindahan lahir batin
  4. Perkembangan keprigelan atau kekerajinan tangan dan,
  5. Perkembangan jasmani.

Moral panca cinta meliputi:

  1. Cinta nusa dan bangsa
  2. Cinta ilmu pengetahuan
  3. Cinta kerja dan rakyat yang bekerja
  4. Cinta perdmaian dn persahabatan antar bangsa-bangsa
  5. Cinta orang tua

Isi pidato tersebut menimbulkan pertentangan dan kegelisahan dikalangan pendidik. Dilinkungan Departemen PP & K, polemic itu makin meruncing ketika dalam Rapat Dinas tanggal 23 Juli 1964 Mentri PP & K, Prof. Dr. Prijono (1957-1966) memancing kembali suasana polemic tersebut. Akibatnya, Pembantu mentri, Tartib Prawirodiharjo, meninggalkan rapat karena dituduh mengkhianati Mentrinya.

Karena heboh mengenai pemecatan 27 orang pejabat berkenaan dengan isi Moral Pendidikan Pancawardhana, akhirnya Presiden membantuk sendiri panitia dengan nama “Panitia Negara Penyempurnaan Sistem Pendidikan Pancawardhana”. Panitia ini diberi tugas untuk menyampaikan pertimbangan tentang “Pemecatan Massal”, ke-27 orang tersebut dinyatakan tidak bersalah.

PGRI Pasca-Peristiwa G30 S/PKI

Periode th. 1966-1972merupakan masa perjuangan untuk turut menegakka Orde Baru, penataan kembali organisasi, menyesuaikan misi organisasi secara tegas dan tepat dalam pola embangunan nasional yang baru memerlukan pemimpin yang memiliki dedikasi yang tinggi, kemampuan manajerial yang mantap, dan pengalaman yang mendukang. Dipenuhi dengan jalan kaderisasi, pelaksanaan kaderisasi yang dimulai pada th. 1957 di Jakarta dilanjutkan kembali mulai Juli 1973 di Bandung, Yogyakarta, dan Pandaan, Jawa Timur.

PGRI mencoba untuk turut memprakarsai dan menghimpun organisasi-organisasi pegawai negeri dakam bentuk RKS. Selanjutnya PGRI memprakarsai pendirian PSPN dengan ketua Umumnya M.E. Subiadinata. Terakhir, pada th. 1967, PGRI memprakarsai berdirinya MPBI. Sebagai pengembangan dari MPBI lahirlah FBSI.

Disambut gembira oleh para buruh kelahiran FBSI, sementara PGRI tidak mempunyai tempat dalam federasi karena banyak perbedaan yang mendasar:

  • FBSI beranggotakan unsur buruh murni
  • Anggota FBSI harus buruh swasta
  • FBSI berprinsip “trade unionisme”
  • FBSI berada di bawah pembinaan Departemen Tenaga Kerja.

Usaha PGRI Melawan PGRI Non-Vaksentral/PKI

PGRI tidak luput dari ancaman tersebut. Pada kongres IX PGRI di Surabaya (oktober 1959),infiltrasi PKI kedalam tubuh PGRI benar” terasa,dan lebih jelas lagi dalam kongres X di Jakarta(November 1962).

Kiranya perinsip “siapa kawan siapa lawan” berlaku pula dalam tubuh PGRI. ”Kawan”adalah semua golongan Pancasilais anti PKI yang Dalam Pendidikan mengamankan Pancasila, dan “Lawan”adalah PKI yang berusaha memaksakan pendidikan.”pancacinta”dan “pancatinggi”. Akan tetapi kekuatan Pancasilais di PGRI masih lebih kuat dan mampu bertahan menghadapi tantangan tersebut.

Setelah PKI di wakili oleh guru” berorentasi ideologi komunis tak mampu lagi melakukan taktik” penyusupan terhadap PGRI, mereka mengubah siasat dengan melakukan usaha terang-terangan untuk memisahkan dari PGRI.

Untuk menyelamatkan pendidikan dari berbagai ancaman dan perpecahan di antara guru, presiden Soekarno turun tangan dengan membentuk majelis pendidikan nasional yang menerbitkan Perpres Nomor 19 tahun 1965 tentang pokok-pokok pendidikan Pancasila akan tetapi Perpres tersebut tidak berhasil mempersatukan organisasi ini. Sungguh perpecahan tersebut merupakan peristiwa yang sangat pahit bagi PGRI.

PGRI sejak lahirnya orde baru

Kesatuan Aksi Guru Indonesia (KAGI)

Peristiwa G30S/PKI merupakan puncak dari apa sebelumnya berlangsung dalam tubuh PGRI,yaitu perebutan pengaruh anti PKI dan pro PKI, infiltrasi dan fitnah Pro PKI berdirinya PGRI non-vaksentral dll.

Bersama para pelajar,mahasiswa,sarjana,dll,para guru anggota PGRI turun kejalan dengan meneriakan tritura (tri tuntunan rakyat) yakni :”bubarkan PKI, ritul 100 mentri, dan turunkan harga-harga!”. Mereka membentuk kesatuan aksi misalnya KAMI,KASI,sedangkan para guru membentuk KAGI pada tanggal 2 februari 1966.

Tritura
Peristiwa Tritura

Perlu ditambahkan bahwa KAGI pada mulanya terbentuk dijakarta raya dan jawa barat, kemudian berturut-turut terbentuk KAGI di wilayah lainnya.

Tugas Utama KAGI adalah

  • Membersihkan dunia pendidikan Indonesia dari unsur PKI dan orde lama.
  • menyatukan semua guru di dalam organisasi guru yaitu PGRI
  • memperjuangkan agar PGRI menjadi organsasi guru yang tidak hanya bersifat unitaristik tetapi juga independen dan non partai politik.

Bukti keberasilan kekuatan orde baru dalam kongres ini terlihat dari hasil” kongres di bidang unsure atau politik atau PB PGRI masa bakti XI adapun hasil” kongres XI adalah

  1. Menjunjung tinggi HAM
  2. PGRI diwakili secara resmi dalam DPRGR atau MPRS
  3. Frontnasional di bubarkan
  4. PGRI ditegaskan kembali sebagai organisasi yang bersifat unitarian, independen dan non partai politik
  5. DLL.

Selanjutnya, hasil XI PGRI di bidang organisasi :

  • Intesifikasi penerangan tentang kegiatan organisasi melalui pers, Radio, TV dan Majalah Suara Guru.
  • Pendidikan kader organisasi secara teratur dan terencana
  • PGRI menjadi anggota WCOTP
  • Dll.

Konsolidasi organisasi pada awal orde baru

Menarik juga untuk di simak kembali seri tulisan harian kompas tahun 1967 yang berjudul PORAK PORANDANYA KERETA PGRI DI JAWA TENGAH tulisan ini merupakan “serangn” kepada PB PGRI masa perserikatan (kongres XI).

Pembentukan KAGI di Jawa Timur dan Jawa Tengah, antara lain untuk menyelamatkan PGRI dari kemelut politik pada saat itu hasilnya adalah konferda PGRI di ke 2 daerah tersebut berhasil memilih pengurus daerah PGRI yang baru.

Presiden Soeharto saat mengunjungi salah satu SD Inpres
Presiden Soeharto saat mengunjungi salah satu SD Inpres

Pada tahun 1969 atas perdesakan nasib guru yang dibentuk PGRI, pemerintah setuju untuk mencairkan tunjangan kelebihan mengajar bagi guru SD di seluruh Indonesia

Hubungan PGRI dengan organisasi guru mulai di rintis kembali. Pada bulan juli 1966 secara resmi diterima menjadi anggota WCOTP dalam kongres guru se Dunia Seoul di Korea selatan. Setelah itu, PGRI diundang untuk mengikuti Trade Union Leader Course di negeri belanda selama 4 bulan,kursus di adakan 2 angkatan : Angkatan 1 pada tahun 1969 dan angkatan 2 1970.

Untuk melaksanakan keputusan kongres BP PGRI membentuk YPLP-PGRI dengan akta notarie Moh. Ali No. 21 tanggl31 Maret 1980 yang berlaku sejak tgl. 1 Januari 1980. Yaitu melakukan pembinaan, pengelolaan , dan pengembangan lembaga pendidikan PGRI di seluruh Indonesia dan bertanggung jawab langsung kepada PB PGRI

Hikmah dan manfaat dari yang diambil dari ketetapan PGRI sebagai organisasi profesi adalah,

  • Medan perjuangan, pengabdiaan dan kekaryaan anggota PGRI dapat makin ditingkatkan dan dimantapkan
  • Upaya peningkatan mutu profesionalisme para anggota PGRI.
  • Dapat dipupuk rasa kesatuan dan kesatuan yang makin kokoh.

6 komentar pada “Sejarah PGRI

  1. Salut sama guru yang pengabdian nya bener bener tulus untuk mencerdaskan bangsa ini walaupun terkadang tidak mendapatkan balasan yg seharusnya diterima

  2. Intinya Guru itu adalah pahlawan tanpa jasa, tanpa guru kita tidak akan bisa seperti saat ini, begitu juga dengan para pahlawan yang suda mempertahankan PGRI sampai saat ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *